Studio Press

Just another Blogger Blog

ad

Pembangkit Listrik Mikro Hidro

~ Pembangkit Listrik Mikro Hidro di Yogyakarta

E-mail Cetak PDF

PENGEMBANGAN ENERGI TERBARUKAN STUDI KASUS DI YOGYAKARTA

I. Pendahuluan

Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, tingkat kebutuhan energi manusia juga semakin meningkat. Pemenuhan energi ini sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yang berumur jutaan tahun dan tak dapat diperbaharui, dan sebagian kecil saja yang berasal dari penggunaan sumber energi lain yang lebih terbarukan.

Penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil ini telah menimbulkan banyak masalah. Diantaranya masalah lingkungan, kesehatan, ekonomi, dan bahkan berpotensi menimbulkan konflik nternasional akibat sengketa penguasaan lahan-lahan kaya sumber energi fosil. Eksploitasi sumber energi fosil yang tak dapat diperbaharui juga telah menimbulkan perhatian atas kemungkinan habisnya sumber-sumber cadangan energi tersebut. Sebagai contoh cadangan minyak dunia hanya cukup untuk jangka waktu 40-68 tahun kedepan, dan cadangan batu bara dunia sedikit lebih lama yaitu 177-400 tahun kedepan. Masalah lain yang ada yaitu mengenai persebaran dari penyediaan energi yang tidak merata, seperti yang terjadi pada distribusi listrik di beberapa daerah, pada daerah-daerah terpencil masih banyak masyarakat yang belum dapat menikmati energi listrik akibat sulitnya membangun jaringan listrik.

Banyak masyarkat ekonomi lemah yang tidak mampu untuk membayar biaya pemasangan dan rekening listrik, akibatnya mereka belum dapat menikmati energi listrik. Salah satu usaha untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber-sumber energi yang berasal dari fosil dan untuk memberikan alternatif solusi dari permasalahan di atas adalah dengan mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan. Sumber energi terbarukan ini merupakan sumber energi yang ramah
lingkungan, mampu meminimalisir dampak sosial, lebih murah dan merupakan sumber terbarukan sehingga dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang lama. Berbagai sumber energi terbarukan yang dapat dikembangkan antara lain energi air, energi angin, energi laut yang dapat meliputi energi gelombang dan energi pasang surut, energi biomassa serta energi surya.

II. Batasan Masalah dan Metodologi Pencarian Data

Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai potensi dan pengembangan energi terbarukan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam proses pencarian data kelompok kami melakukan wawancara antara lain dengan tokoh dari Pusat Studi Energi (PSE) UGM yaitu Ibu Rita dan kami juga menyebar koesioner kepada masyarakat umum (lihat lampiran).

III. Isi

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan energi terbarukan. Selain terdapat berbagai potensi sumber energi terbarukan, Yogyakarta juga merupakan kota pelajar sehingga sumber daya manusia yang diperlukan untuk pengembangan potensi tersebut cukup memadai. Pengembangan energi terbarukan di DIY dilakukan selain untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil juga untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat di daerah tertinggal dan belum terjamah oleh energi listrik. Hal ini sesuai dengan PP no 3 tahun 2005 yang menyatakan bahwa penyediaan energi listrik untuk daerah tertinggal dan terisolir menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan pusat.

III. 1 Potensi dan Pengembangan Energi Terbarukan di Yogyakarta

Secara geografis Yogyakarta berpotensi untuk dikembangkan energi terbarukan. Berbagai potensi tersebut antara lain energi air khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), embangkit listrik tenaga surya, pembangkit listrik tenaga gelombang laut dan pembangkit listrik tenaga angin.
Melihat potensi energi terbarukan yang dimiliki oleh daerah Yogyakarta itu, maka pemeritah Indonesia bekerjasama dengan BPPT (Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi) mengembangkan Techno Camp di daerah Pantai Parang Racuk, Baron, Gunung Kidul.

pengembangan energi terbarukan

Selain dengan pengembangan Techno Camp. Pada tahun 2007 pemerintah mulai mengembangkan energi terbarukan dengan menggunakan alokasi dana APBN dibawah Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi (DJLPE) dan Yogyakata merupakan salah satu daerah yang menjadi target dari pemerintah pusat. Untuk daerah Yogyakarta, energi terbarukan yang telah dikembangkan adalah PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro), PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya).

Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki potensi sumber daya manusia yang cukup besar dengan sumber daya alam yang sangat minim, sehingga upaya untuk pengembangan energi terbarukan tidak bisa hanya dengan mengandalkan anggaran pemerintah daerah saja.

III.1.1. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)

Untuk PLTMH daerah yang memiliki potensi cukup besar adalah Kabupaten Sleman. Bapedda Kabupaten Sleman pada tahun 2004 dan 2005 telah melakukan kerjasama dengan UGM untuk melakukan studi potensi PLTMH di daerah Sleman. Studi potensi tersebut dilakukan antara lain dilakukan di sepanjang Selokan Van Der Vich dan Selokan Mataram, dan dari studi potensi ini diperoleh hasil bahwa potensi pengembangan PLTMH untuk daerah Sleman cukup besar. Potensi PLTMH ini memiliki orde dari puluhan hingga ribuan watt. Selain di di khususkan untuk pengembangan energi terbarukan. Pada area Techno Camp ini dikembangakan pembangkit listrik tenaga angin, pembangkit listrik tenaga surya yaitu photovoltaic, pembangkit listrik tenaga angin, pengembangan energi biomasa dan pembangkit listrik tenaga gelombang laut. Ini merupakan proyek penelitian yang dilakukan oleh BPPT dan yang pertama di Indonesia. sepanjang kedua selokan tersebut daerah yang juga memilki potensi pegembangan PLTMH adalah derah Turi dan Minggir.

PLTMH yang dibangun di daerah Girikerto Turi. PLTMH ini memiliki head sekitar 10 meter dengan daya terpasang sekitar 4000 Watt. PLTMH ini pertama dibangun pada tahun 2003 dan mulai beroperasi pada tahun 2005. Energi listrik yang dihasilkan oleh PLTMH ini juga dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat lokal. Untuk sementara energi listrik yang dihasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan lisrik tiga rumah. Dalam pengoperasian dan perawatan PLTMH ini melibatkan penduduk setempat. Daerah lain yang juga sedang dibangun PLTMH adalah di daerah Minggir, hanya saja proyek ini belum dapat beroperasi karena masih dalam proses pembangunan (sumber : Dinas Pertambangan dan Penanggulangan Bencana Alam Sleman )

pengembangan energi terbarukan

III.1.2. Pembangkit Listrik Tenaga Surya

Yogyakarta memiliki potensi untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga surya. Potensi ini dapat dilihat dari pola radiasi surya di daerah Yogyakarta yang cenderung stabil. Dibeberapa daerah di Yogyakarta telah dikembangkan pembangkit listrik tenaga surya, seperti di daerah pantai Parang Kacuk, Baron, Gunung Kidul. Pengembangan pembangkit listrik tenaga surya ini dikembangakan oleh pihak BPPT bekerja sama dengan pemerintah daerah Gunung Kidul. Daerah Prambanan juga memiliki potensi untuk dikembangkannya Pembangkit listrik Tenaga Surya.
Salah satu daerah yang menjadi sasaran pengembangan energi PLTS adalah daerah Prambanan. Beberapa tahun terakhir telah dikembangkan photovoltaic dengan daya yang dihasilkan yaitu sekitar 200 Watt dengan investasi sebesar Rp.5.000.000,00 untuk setiap unitnya. Proyek ini dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik di salah satu daerah terpencil di Prambanan.

III.1.3. Pembangkit Listrik Tenaga Angin

Di Yogyakarta telah mulai dikembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Angin. Ada beberapa daerah yang berpotensi antara lain di daerah Srandakan, Samas, Sadeng, Parangtritis dan Baron. Saat ini pembangkit listrik tenaga angin telah dikembangkan oleh LAPAN (Lembaga Penelitian dan Antariksa) dan PSE (Pusat Studi Energi) UGM. LAPAN telah mendirikan PLTAngin di daerah Samas, Sadeng, Parangtritis, Srandakan dan Baron. Namun PLTAngin yang dikembangkan ini tidak dapat bekerja secara efektif karena pengembangan tidak sesuai dengan potensi angin Yogyakarta. Yogyakarta memiliki potensi angin dengan kecepatan 3-5 m/s, untuk kecepatan angin seperti itu sebaiknya menggunakan kincir dengan low speed, turbin VAWT (Vertical Axis Wind Turbine), generator low rpm dan sistem pemasangan Stand alone.

Dalam hal ini kajian mengenai energi terbarukan oleh PSE UGM juga lebih dikonsentrasikan pada pengembangan potensi angin. Pada tahun 2004 PSE telah melakukan kajian mengenai potensi pemanfaatan energi angin di DIY dan hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata kecepatan angin di wilayah selatan DIY adalah 3-5 m/s pada ketinggian 20 meter. Namun yang perlu diingat bahwa di DIY sulit untuk dilakukan pembangkitan dengan orde megawatt karena potensinya yang kurang.

III.1.4. Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut

Yogyakarta merupakan daerah di Indonesia yang memiliki potensi gelombang laut terbesar dibanding daerah lainnya. Pantai Selatan di daerah Yogyakarta memiliki potensi gelombang 19 kw/panjang gelombang). Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut di daerah Yogyakarta dikembangkan oleh BPPT khususnya BPDP (Balai Pengkajian Dinamika Pantai). Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut ini menggunakan metode OWC (Ocillating Water Column). BPDP – BPPT pada tahun 2004 telah berhasil membangun prototype OWC pertama di Indonesia. Prototype itu dibangun di pantai Parang Racuk, Baron, Gunung Kidul. Prototype OWC yang dibangun adalah OWC dengan dinding tegak. Luas bersih chamber 3m x 3m. Tinggi sampai pangkal dinding miring 4 meter, tinggi dinding miring 2 meter sampai ke ducting, tinggi ducting 2 meter.

Prototype OWC 2004 ini setelah di uji coba operasional memiliki efisiensi 11%. Pada tahun 2006 ini pihak BPDP – BPPT kembali membangun OWC dengan sistem Limpet di pantai Parang Racuk, Baron, Gunung Kidul . OWC Limpet dibangun berdampingan dengan OWC 2004 tetapi dengan model yang berbeda. Dengan harapan besar energi gelombang yang bisa dimanfaatkan dan efisiensi dari OWC Limpet ini akan lebih besar dari pada OWC sebelumnya.

pengembangan energi terbarukan

III.1.5. Pembangkit listrik Tenaga Biomasa

Pengembangan energi biomassa khususnya biogas telah dikembangkan di daerah Yogya Utara dan didaerah Pantai Selatan Yogyakarta yaitu di Baron, Gunung Kidul. Upaya pengembangan energi biomassa ini dengan penanaman pohon jarak di daerah Pantai Parang Racuk, Baron, Gunung Kidul. Namun dalam

III.2. Kendala Dalam Pengembangan Energi Terbarukan Kendala yang dihadapi dalam pengembangan energi terbarukan didaedrah yogyakarta :

  1. Keterbatasan anggaran untuk pengembangan energi terbarukan Hal ini dikarenakan tidak adanya program kerja yang jelas dari pemerintah daerah terhadap pengembangan energi terbarukan.
  2. Kurangnya perhatian PLN terhadap pengembangan energi terbarukan. Saat ini PLN lebih berorientasi dalam masalah profit (keuntungan) bukan pada sektor sosial. Jadi untuk daerah-daerah terpencil dengan tingkat kepadatan penduduk yang kecil dengan medan yang cukup sulit, PLN tidak akan membuka saluran baru jika dirasa pembangunan itu tidak menguntungkan.

III.3. Solusi Dalam Mengatasi Kendala Yang Timbul

Berdasarkan kendala-kendala yang ada dalam masalah pengembangan energi terbarukan, maka kami mencoba untuk memberikan solusi-solusi yang mungkin untuk penyelesaian permasalahan tersebut:

  1. Mengingat tingginya kebutuhan kita akan energi, terbatasnya energi yang berasal dari energi konvensional dan besarnya potensi energi terbarukan, maka akan lebih bijak jika pengembangan energi terbarukan dimasukkan dalam program kerja pemerintah daerah. Baik jangka panjang maupun jangka pendek.
  2. Energi listrik yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga. Walaupun dapat juga dijual ke PLN. Akan tetapi melihat kurangnya perhatian PLN terhadap pengembangan energi terbarukan, maka akan lebih bijak jika energi listrik yang dihasilkan dimanfaatkan sendiri.

III.4. Pendapat Masyarakat Tentang Pengembangan Energi

Terbarukan Untuk mencari tahu seberapa besar pengetahuan serta antusiasme masyarakat terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia, kelompok kami menggunakan metode Poling. kurun waktu terkahir ini biogas sudah tidak beroperasi lagi.

pengembangan energi terbarukan

Dari 34 responden, 21 responden menjawab pernah mendengar tentang energi terbarukan, sedangkan ada 13 responden yang mengaku belum pernah mendengar tentang energi terbarukan. Sedangkan untuk pertanyaan no.2, didapat 3 jawaban yang berbeda yaitu :

  1. 7 responden menjawab, energi terbarukan merupakan energi yang dapat diperbaharui.
  2. 5 responden menjawab dengan memberikan jenis-jenis energi terbarukan seperti energi air, energi angin, energi surya, energi biomassa,
  3. 22 responden menjawab No Comment. Kebanyakan yang menjawab adalah responden yang menjawab tidak pernah mendengr tentang energi terbarukan pada pertanyaan no.1.

Jawaban untuk pertanyaan no. 3 adalah sebagai berikut :

  1. 29 responden menjawab bahwa energi terbarukan mempunyai peranan yang besar dalam memenuhi kebutuhan energi di Indonesia
  2. 5 responden menjawab bahwa energi terbarukan tidak mempunyai peranan yang besar dalam pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia. Untuk jawaban pertanyaan no.4 adalah sebagai berikut
  3. 7 responden menjawab energi air
  4. 11 responden yang menjawab biomassa
  5. 3 responden menjawab energi surya

Dari hasil poling di atas dapat di tarik kesimpulan :

  1. Masyarakat Indonesia sudah menyadari pentingnya pengembangan energi terbarukan karena semakin berkurangnya bahan bakar fosil.
  2. Tidak ada alasan penundaan pembangunan energi terbarukan, karena SDM Indonesia yang kurang berkwalitas. Padahal dari hasil poling, 62% mengerti tentang energi terbarukan.

IV. Kesimpulan dan Saran
IV.1 Kesimpulan

Dari berbagai penjelasan dan pemaparan data-data diatas, maka dapat disimpulkan berbagai hal berikut:

  1. Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah menyadari pentingnya pengembangan energi terbarukan mengingat semakin berkurangnya bahan bakar fosil.
  2. Daerah Istimewa Yogyakarta cukup memiliki potensi energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan untuik pengembangan lebih lanjut. Hanya saja pemanfaatannya masih belum maksimal.
  3. Pengembangan energi terbarukan di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terbatas pada pengembangan PLTMH dan PLTS.
  4. Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai potensi sumber daya manusia yang cukup besar.
  5. Upaya pengembangan energi terbarukan di Yogyakarta tidak bisa hanya dengan mengandalkan anggaran pemerintah daerah saja. Maka dibutuhkan peran serta masyarakat dan civitas yang terkait untuk lebih mengembangkan energi terbarukan.

IV.2 Saran

  1. Pemerintah daerah mestinya memberi perhatian lebih akan permasalahan pengembangan energi terbarukan di Yogyakarta. Agar pemanfaatannya bisa semaksimal mungkin.
  2. Meskipun pengetahuan masyarakat akan energi terbarukan masyarakat kian meningkat. Namun tidak ada salahnya untuk lebih mensosialisasikan besarnya peranan energi terbarukan untuk mendukung kebutuhan energi di Indonesia, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta.
  3. Mengingat semakin menipisnya cadangan energi konvensional, maka sosialisasi budaya hidup hemat energi sangat disarankan.

V. Daftar Pustaka

  1. Boyle, G., “Renewable Energy”, New York, Oxford University Press, 2000.
  2. Laporan Teknis Penelitian dan Pengembangan Kelistrikan (Oscillating Water Column), BPDP-BPPT, 2005.

Sinar Matahari, Sumber Energi tak Terbatas

Sinar Matahari, Sumber Energi tak Terbatas

Pikiran Rakyat, Kamis, 22 September 2005

ADA kenyataan yang sulit dibantah, setengah dari 220 juta jiwa penduduk negeri ini belum menikmati penerangan listrik. Banyak alasan yang menjadikan demikian. Mulai dari ketidakmampuan pemerintah menyediakan jaringan listrik, hingga harga yang sulit terjangkau oleh warga. Sistem penerangan paling murah yang mungkin dimiliki masyarakat daerah terpencil adalah lampu cempor atau patromaks dengan bahan bakar minyak tanah.

Mengingat besarnya investasi yang harus dikeluarkan untuk membangun jaringan sistem kabel, PLN kini mulai menempuh cara baru, yakni mengembangkan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya). PLTS lebih diperuntukkan bagi warga desa yang belum tersentuh jaringan listrik. Pertimbangannya, meski dari sisi biaya investasi masih relatif tinggi, namun jika dibandingkan dengan membangun jaringan kabel, pengembangan PLTS lebih memungkinkan.

Segala kebutuhan

Di luar negeri, pemanfaatan energi surya melalui sistem photovoltaic sudah berlangsung lama dan banyak digunakan untuk berbagai keperluan. Di Indonesia, pengembangannya sudah dilakukan pada tahun 1980-an. Penerapan pertama pemanfaatan energi surya oleh Lembaga Elektronika Nasional (LEN) yang juga diresmikan oleh Presiden Soeharto di lakukan di Kec. Sukatani, Kab. Purwakarta pada 1989. Hanya, dalam perjalanannya, kebijakan pemanfaatan energi surya seperti setengah hati. Alasannya klise, skala kegiatan yang kurang ekonomis, sementara biaya investasi yang dibutuhkan sangat besar.

Ke depan, dengan kondisi topograpi wilayah yang dimiliki Indonesia, untuk menjangkau masyarakat di daerah terpencil, pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) tampkanya akan menjadi sebuah tuntutan yang tak bisa ditawar. Selain sumber energinya (matahari) begitu melimpah sehingga pemanfaatannya tak terbatas, PLTS relatif lebih mudah dipasang dan dipelihara, ramah lingkungan, tahan lama, dan tak menimbulkan radiasi elektromagnetik yang berbahaya bagi kesehatan. Selain itu, PLTS bisa digunakan untuk segala kebutuhan, seperti penerangan rumah tangga, pompa air, atau telekomunikasi.

Bukan itu saja. Berdasarkan hasil perhitungan Dr. Mulyo Widodo, dosen Teknik Mesin ITB yang juga penemu sistem penerangan listrik tenaga surya Solare, total biaya yang dikeluarkan pengguna PLTS relatif lebih murah daripada menggunakan energi listrik PLN dan lampu minyak tanah. Dengan menghitung biaya investasi awal, nilai depresiasi terhadap umur instalasi tiap tahun, dan biaya operasional per hari, rata-rata biaya per bulan yang harus dikeluarkan pengguna PLTS Solare SP-4 dengan 4 titik penerangan hanya mencapai Rp 7.000,00. Sedangkan rata-rata biaya yang harus dikeluarkan pengguna PLN 450 Watt Rp 32,083,33 per bulan dan lampu minyak tanah dengan empat titik penerangan Rp 14,133,33 per bulan.

Memang, dibandingkan dengan kualitas penerangan yang dihasilkan lampu TL, penerangan lampu LED masih kalah terang. Namun, jika dibandingkan dengan lampu cempor, lampu LED jelas lebih baik. “Lagi pula tidak seimbang membandingkan kualitas penerangan lampu LED dari PLTS dengan yang dihasilkan listrik PLN. Janganlah mengukur itu semua dengan kacamata orang kota. Lihatlah manfaatnya bagi penduduk yang puluhan tahun tak pernah menikmati penerangan listrik,” kata Mulyo.

Cukup sederhana

Cara kerja PLTS cukup sederhana. Pancaran sinar matahari ditangkap oleh sebuah panel dan diubah menjadi energi listrik. Energi itu disimpan dalam sebuah baterai (aki) yang bisa digunakan sebagai sumber penerangan pada malam hari atau saat tak ada sinar matahari. Kemampuan energi yang dapat dibangkitkan oleh sebuah panel surya sangat bergantung kepada kondisi radiasi sinar matahari. Sistem PLTS adalah sistem arus searah (DC) sehingga peralatan yang digunakan harus disesuaikan dengan arus searah tegangan nominal 12/24 volt.

Besar kecilnya energi yang dihasilkan dari radiasi sinar matahari akan sangat ditentukan oleh seberapa kuat pancaran sinar, lebar dan kualitas bahan panel surya penerima sinar. “Ada beberapa jenis panel surya, dari yang kualitasnya paling baik dan harganya mahal hingga yang biasa-biasa saja dan murah. Yang paling baik itu monokristal, harganya mahal dan biasa digunakan oleh lembaga strategis. Yang banyak di pasaran adalah polikristal,” jelas Gusrilizon, salah seorang ahli sistem tenaga surya PT LEN Industri.

Berdasarkan hasil perhitungan Mulyo Widodo, dalam kondisi peak atau posisi matahari tegak lurus, sinar matahari yang jatuh di permukaan panel surya di Indonesia seluas 1 meter persegi setara dengan daya 1.000 watt atau 900 watt. Dengan bahan panel surya yang monokristal dan poli-kristal, sistem photovoltaic bisa mengkonversi daya sebesar 900-1000 watt itu menjadi energi listrik sebesar 17 %. Jadi, dalam kondisi pancaran sinar yang peak (cerah dan posisi matahari tegak lurus dengan permukaan panel penerima), satu panel surya seluas 1 meter persegi akan menghasilkan daya sebesar 170 watt.

Dengan rumus tersebut, akan mudah menentukan berapa luas bahan panel surya dibutuhkan untuk menghasilkan daya listrik sesuai kebutuhan. Atau sebaliknya, dari rumus itu juga bisa menentukan berapa besarnya daya listrik yang dihasilkan dari sebuah bahan panel surya dengan ukuran tertentu. Faktor inilah yang menjadikan sistem tenaga surya masih relatif mahal karena struktur biaya PLTS masih didominasi oleh harga panel surya. Makin besar dan luas panel surya, energi yang dihasilkan memang makin besar, namun harga yang harus dibayar juga makin mahal.

Dalam aplikasinya, PLTS bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Mulai dari sistem penerangan rumah tangga (solar home system), lampu penerangan jalan (solar street lamp), wartel satelit tenaga surya (solar satellite public phone), pembangkit listrik tenaga hibrida (hybrid solar diesel), hingga system pompa air tenaga surya (solar pumping system). Di samping itu, bisa juga digunakan untuk para nelayan, penerangan di bagan apung atau tancap, puskesmas terpencil, penerangan pos keamanan, camping dan kegiatan outdoor, hingga sistem pengisian baterai radio komunikasi di lapangan.

Saat ini, selain PT LEN Industri yang merupakan lembaga milik pemerintah, perusahaan swasta yang bergerak dalam pengembangan PLTS adalah Solare Indonesia. Dua perusahaan tersebut menghasilkan produk dengan segmen pasar berbeda. Produk buatan LEN umumnya berukuran relatif besar, minimal 50 WP untuk skala rumah. Telah terpasang lebih dari 250 kWP yang terdiri dari hampir 50.000 unit PLTS yang tersebar di berbagai pelosok tanah air. Khususnya di daerah-daerah terpincil di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Berbeda dengan LEN yang masih ditujukan untuk skala besar, PT Solare Indonesia mengembangkan sistem penerangan PLTS berskala kecil dengan target rumah-rumah penduduk dengan ukuran lebih kecil dan harga relatif terjangkau. Pada sistem Solare terdapat dua komponen yang “dibuang” yakni inventer dan sistem kontrol baterai atau battery control unit (BCU) sehingga harganya relatif lebih murah. Selain itu, jenis lampu yang digunakan bukanlah lampu TL, tetapi LED (light emitting diode) yang lebih awet. PT LEN sendiri masih menggunakan konfigurasi PLTS konvensional dengan jenis lampu TL.

“Sistem Solare sangat sederhana dan mudah digunakan. Ini adalah teknologi tepat guna yang dirancang sangat simpel dan aplikatif untuk masyarakat pedesaan atau siapa pun yang menggunakannya,” jelas Anton S. Tirto, Direktur Citra Surya Utama, distributor Solare. Produk Solare sudah digunakan di berbagai tempat seperti Kampung Cigumentong (Sumedang) dan daerah translok Kertajati (Majalengka) bersama dengan produk LEN. Selain itu, digunakan pula di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nias, serta sejumlah tempat lain di tanah air.

Terlepas dari adanya dua perbedaan antara dua produk, tetap saja keduanya memberi andil sangat besar dalam membantu memutus keterisolasian penduduk negeri ini yang belum terjamah. Keduanya memang berbeda karena filosofi yang menjadi dasar bagi kedua perusahaan itu juga berbeda. Justru, dari perbedaan spesifikasi itu pula, bisa dicapai nilai ekonomis dan efisiensi penggunaan PLTS.

Untuk sistem penerangan rumah-rumah penduduk yang jarak antarrumah berjauhan, sistem Solare lebih cocok. Apalagi jika dikaitkan dengan faktor harga. Sedangkan untuk daerah-daerah dengan rumah penduduk terkonsentrasi dan jarak antarrumah tak berjauhan, pembangkit listrik tenaga hibrida (PLTH) atau hybrid solar diesel (HSD) buatan LEN lebih cocok.

HSD adalah salah satu alternatif sistem PLTS, yakni dengan mengombinasikan antara energi matahari dengan diesel/generator sel (genset) sehingga menghasilkan energi listrik yang lebih efektif dan efisien. Pada sistem ini, satu sistem PLTH bisa menghasilkan energi listrik yang dibagi-bagi ke rumah-rumah penduduk. Saat ini, sudah ada 14 lokasi di Indonesia yang menggunakan hybrid solar diesel, yakni 8 unit di Sulawesi Tengah dan 6 unit di Sulawesi Tenggara. “Di Indramayu juga ada, tapi tak terurus,” kata Gusrilizon.

Harus diakui, peibangunan PLTS masih butuh investasi besar. Maklum saja, beberapa komponen mulai dari panel surya, aki, hingga lampu LED masih harus didatangkan dari luar negeri. Padahal, seperti diakui Gusrilizon dan Mulyo Widodo, para pakar Indonesia sudah mampu membikin sendiri. Apalagi sejumlah bahan baku, seperti silica untuk pembuatan panel surya, juga tersedia melimpah di tanah air.

“Untuk skala laboratorium kita (LEN) sudah mampu bikin sendiri panel surya. Yang jadi persoalan adalah belum bisa mencapai skala efisiensi karena kita tak punya pabrik untuk menghasilkan secara missal,” kata Gusrilizon. (Muhtar IT/”PR”)***